Welcome to Alpha's blog ^__^ Semoga blog ini bisa memberikan inspirasi bagi banyak orang. Terima kasih. Tuhan memberkati... Artikel

Permainan, Penting Bagi Si Kecil

5 Alasan Mengapa Permainan Penting Bagi Si Kecil

Bermain merupakan tahapan tumbuh kembang yang penting pada masa kanak-kanak. Dengan bermain, anak belajar dan mengeksplorasi lingkungannya, sekaligus gembira.




Photo by Ai Shop, Model : Aurelia Callista (my girl ^^)



"Dengan perasaan gembira itu, neuron di otak anak akan berkoneksi dengan cepat untuk membentuk satu memori baru. Itulah sebabnya mengapa anak dapat dengan mudah mempelajari hal baru melalui permainan," ujar Bety Diana, M.Psi, dari lembaga psikologi Icons.

Menurut Bety, ada beberapa jenis permainana, yaitu: permainan sosial misalnya bermain dalam kelompok, permainan koqnitif dan konstruktif, misalnya menyusun balok, puzzle, dan permainan imaginatif atau dramatik, misalnya: bermain peran menjadi guru, dokter, dan lain-lain.

Dikenal juga permainan yang menggunakan peraturan yaitu segala kegiatan yang mempunyai aturan dan tujuan yang jelas, misalnya untuk menjadi pemenang, serta permainan soliter yaitu permainan yang dimainkan secara individual, misalnya bermain games komputer.

Banyak ahli berpendapat, kata Bety, bahwa permainan soliter berisiko membuat anak mengalami kesulitan dalam mengembangkan kemampuan sosial, juga menjadi terganggu secara psikologis. Misalnya menjadi agresif, egois, dan lain-lain. Atau akan mengalami kesulitan belajar.

Meskipun bermain games atau playstation dapat dilakukan bersama anak lain, permainan ini memang tidak sama dengan bermain bersama teman. Ketika bermain games, anak bermain sendiri dengan kesenangannya. Sisi negatif permainan ini dapat membuat kurangnya pembentukan sikap anak untuk menerima dan memberi. Anak memegang kendali penuh atas 'teman mainnya' dan 'si teman mainnya' akan melakukan apapun yang diinginkan anak. Kendali penuh ini akan menimbulkan reaksi serius bila anak menyalurkannya dalam pertemanan di lingkungan sosialnya.

"Yang perlu disikapi adalah keseimbangan anak dalam bermain. Seringkali orang tua memiliki kekuatiran, jika anaknya kebanyakan bermain maka akan sulit untuk belajar," ujar Bety. Sebenarnya hal itu dapat dengan cara penerapan disiplin sejak dini. Apalagi, pada hakikatnya, permainan adalah dunia anak dan sebagian besar waktu mereka dihabiskan dengan bermain. Namun sebenarnya, mereka mengetahui bahwa selain bermain, ada beberapa kegiatan lain yang harus mereka kerjakan, misalnya mandi, makan, tidur dan lainnya. Dengan penerapan disiplin mengenai waktu dan kegiatan yang dilakukan, anak belajar membagi waktu dan menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan, kewajiban, dan rutinitas lainnya.

Selain itu, kenalkan materi penunjang akademik sejak dini. Kebiasaan membaca buku sejak dini akan sangat membantu anak menyukai buku tanpa merasa terbebani dengan kegiatan tersebut. Hal ini akan membantu anak memasuki masa transisi menuju bangku sekolah yang penuh dengan tugas-tugas "serius". Selain itu, anak yang terbiasa membaca untuk kesenangan, biasanya lebih jarang menghabiskan waktu mereka dengan hanya menonton televisi atau bermain games. Mereka lebih dapat mengontrol diri dan lebih mampu mengatur waktu mereka untuk bermain dan kegiatan lainnya seperti belajar.

Bety menyebutkan 5 alasan mengapa permainan penting untuk si kecil, yakni:
  1. Melatih kemampuan motorik. Dengan bermain, seorang anak dapat melatih kemampuan visual-motorik, meningkatkan kemampuan motorik halus dan motorik kasar, melatih kemampuan spatial, dan lain-lain.
  2. Meningkatkan kemampuan intelektual dan kreatifitas. Ide spontan yang dikemukakan oleh seorang anak, dan jika kemudian diterima oleh teman sepermainannya, akan menimbulkan penghargaan dari lingkungan serta menjadi motivasi bagi munculnya ide kreatif lainnya.
  3. Mengasah keterampilan sosial. Kegiatan bermain menjadikan proses bersosialisasi terbangun dengan cara yang wajar dan menyenangkan. Dengan bermain dalam kelompok, seorang anak dapat belajar untuk saling berbagi, saling membantu, belajar antre, bertoleransi dengan orang lain dan juga melatih kemampuan komunikasinya. Tidak jarang pada saat bermain, anak juga dihadapkan pada masalah. Mereka dapat belajar untuk menghadapi dan memecahkan persoalan yang timbul dalam sebuah permainan secara bersama-sama.
  4. Penyaluran emosi negatif yang terpendam. Bermain juga dapat berfungsi untuk menyalurkan emosi yang terpendam pada anak. Sering kali, seorang anak berhadapan dengan kenyataan yang tidak menyenangkan dan mereka mengalami kesulitan untuk mengutarakannya. Kondisi tidak menyenangkan ini secara tidak sadar menimbulkan ketegangan dalam diri anak. Ketegangan ini biasanya akan berkurang ketika anak bermain. Melalui bermain anak menyalurkan beban emosionalnya secara tanpa disadari, misalnya melalui bermain anak menyalurkan beban emosionalnya secara tanpa disadari, misalnya melalui bermain peran, berbagi cerita dengan teman-temannya. Oleh karena itu, seringkali bermain juga digunakan sebagai alat terapi pada anak.
  5. Pembelajaran lainnya. Melalui bermain, seorang anak dapat mempelajari banyak hal, yang tidak selalu mereka peroleh di institusi pendidikan formal. Mereka belajar tentang arti bekerja sama, sportivitas, taat pada aturan, menyenangkannya sebuah kemenangan maupun kesedihan ketika mengalami kekalahan. (ella)

Tip Memilih Permainan
  1. Ketahui tahapan perkembangan anak seperti: usia, perkembangan fisik dan emosi anak agar dapat menyesuaikannya dengan kebutuhan anak.
  2. Tidak perlu membeli yang mahal, karena tidak semua mainan yang mahal itu bermanfaat, sesuaikan permainan dengan kebutuhan dan kemampuan anak.
  3. Keamanan alat bermain perlu diperhatikan, baik dari bahan, kinerja alat tersebut dan "isi" dari permainan tersebut.

Diambil dari : Indonesia HEALTH TODAY Magazine Januari 2010

Read more...

Belajar Dari Kesalahan

Pada usia satu tahun, beri kesempatan anak untuk mencoba mengerjakan suatu pekerjaan secara dengan kemampuannya. Walaupun hasilnya belum sempurna, biarkan dia belajar dari kesalahannya.

" Mau pake ndiri," kata Jani (20 bulan) pada Mira (30 tahun). Jani mengambil sepatunya dan mencoba memakinya sendiri. Tentu saja, memasukkan kaki ke dalam sepatu bukan hal yang mudah buat Jani. Tak heran kalau Jani membutuhkan waktu cukup lama. Melihat kegagalan putrinya ini, Mira sungguh tak tega. "Sini-sini, Mama saja yang pakaikan, ya," kata Mira sambil meraih sepatu Jani yang belum satu pun berhasil ia kenakan.



Photo by Ai Shop, Model : Aurelia Callista (my girl ^^)


MEMBERI KESEMPATAN MENCOBA
Melatih anak mandiri memang bukan persoalan gampang. Sering kali orangtua bersikap ambivalen dalam menghadapi anak. Di satu pihak, ia menuntut anak menjadi anak mandiri, namun di sisi lain orangtua kurang konsisten untuk memberi kesempatan anaknya mencoba.

Padahal, menurut pakar psikologi perkembangan Supra Wimbarti, MSi PhD, dalam bukunya "Biarkan Anak Bicara", inti dari melatih anak mandiri adalah memberi kesempatan bagi si kecil untuk mencoba.

Menurut pengajar Universitas Gadjah Mada ini, orangtua acapkali terlalu protektif terhadap anak. Dengan alasan tidak tega, anak dilarang melakukan sesuatu meski sebenarnya dia mampu. Tertutupnya kesempatan semacam ini, menjadikan anak tidak punya kesempatan untuk belajar dari sebuah kesalahan.

"Untuk anak satu tahun misalnya, itu masa di mana anak sudah mulai berjalan. Berikan dia kesempatan untuk melakukannya meski terkadang memang jatuh. Tapi tidak apa-apa, karena dari kesalahan itu ia akan belajar," katanya.

Masalah lain dari orangtua yang sering menjadikan penghambat munculnya ketidakmandirian ialah kurangnya kebebasan bagi anak untuk mengembangkan pikirannya. Dalam banyak kasus, saat si kecil melakukan sebuah kesalahan, orangtua akan cenderung untuk mengkritik dan menyalahkan.

Sayangnya, penilaian benar dan salah oleh orangtua itu lebih menggunakan sudut pandang sendiri yang tentu saja belum berlaku bagi si kecil. Para orangtua kadang tidak sadar bahwa penilaian benar dan salah dari tidak selamanya sesuai dengan kondisi anak saat itu.

BENAR VERSI ORANGTUA
Dalam penelitiannya terhadap anak di Yogyakarta dan di Amerika, peranan orangtua dalam bermain ternyata sangat mempengaruhi bentuk kemandirian anak. Pada anak yang diberi kebebasan untuk mengembangkan pemikirannya, ternyata dia tumbuh menjadi lebih mandiri, khususnya dalam pemikirannya.

Salah satunya penelitian yang dilakukan adalah permainan balok. Ibu-ibu di Amerika lebih memberi kebebasan anak untuk membuat apapun dengan balok tersebut. Tetapi tidak demikian dengan ibu-ibu di Yogya, yang selalu menyuruh bahkan cenderung menggurui. "Ibu di Yogyakarta takut orang mengatakan anaknya membentuk bangunan yang salah. Padahal sebenarnya tidak ada yang benar dan salah dalam hal ini." kata Wimbarti.

Sikap yang selalu mengkritik dan menggurui seperti inilah yang sebenarnya awal dari munculnya perasaan tidak percaya diri pada si anak. Anak kemudian berkembang dengan jiwa menunggu perintah serta takut untuk melakukan kesalahan. Anak pada akhirnya muncul sebagai sosok yang tidak mampu menunjukkan kemandirian, meski sebenarnya sanggup melakukan sebuah pekerjaan.

Sikap bijaksana dari orangtua yang diperlukan dalam membentuk kemandirian anak. Orangtua juga tidak perlu bersikap terlalu menggurui. Berilah kebebasan bagi si kecil untuk menunjukkan segala keinginan dan pikirannya. Jangan memotong pikiran si kecil di tengah jalan, karena akan menjadikan anak tidak mandiri dalam berpikir. Persoalan bagi anak akan semakin rumit, saat gengsi orangtua ikut campur dalam perkembangan anak. Sebagian orangtua memaksa anak untuk dapat menjadi sok pintar, namun orangtua kemudian melupakan aspek lain pada anak.

MANDIRI SEJAK DINI
Si usia satu tahun sangat ingin mengerjakan sendiri. Beberapa aktivitas yang ingin dilakukannya sendiri antara lain berjalan, makan, minum dan berpakaian. Beri kesempatan pada si kecil untuk melakukannya sendiri walaupun hasilnya belum sempurna.

Begitu pun saat ia belajar berjalan. Pada saat inilah orangtua harus mampu memberi kesempatan untuk si kecil berlatih berjalan. Meski kemudian ia harus menangis karena jatuh, itu hal yang wajar saja. Dari "kesalahan-kesalahn" inilah kemudian si kecil akan mendapat pengalaman berharga untuk mematangkan dirinya. Sehingga akhirnya ia akan tumbuh menjadi anak yang mandiri seperti harapan Anda.


PERKEMBANGAN KEMANDIRIAN USIA 1-2 TAHUN
  1. Membantu diri berpakaian.
  2. Mengenakan topi di kepala.
  3. Melepaskan topi.
  4. Mencoba mengenakan sepatu.
  5. Melepaskan kaos kaki.
  6. Membuka dan menutup resleting besar tanpa memasang pengaitnya.

Diambil dari : Parents Guide Magazine vol.VII No.12 September 2009

Read more...

Never Ever Shake A Baby

Important! Never Ever Shake A Baby ( Penting! Jangan Pernah Menggoncang Bayi )

4 Desember 2007, Jessica Sherwood terpaksa harus melakukan apa yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang ibu.





Pada pukul 2:29 pm Jessica membuat sebuah keputusan yang tepat meskipun sangat sulit yaitu mencopot alat pendukung kehidupan dari tubuh bayi perempuannya yang baru berumur 3 bulan.
Untuk mengenang London Marie yang mungil, saya ingin memulai sedikit cerita untuk diteruskan …
Jessica memiliki sebuah pesan yang saya ingin setiap orang bisa mengetahuinya …





Ini yang dikatakan Jessica:

"Jika Anda memiliki anak-anak, pastikan Anda memperhatikan mereka setiap waktu. Jangan mempercayakan mereka kepada orang yang tidak jelas. Percayalah, saya pikir saya bisa mempercayai Josh…. Tetapi sekarang, yaitu tanggal 4 Desembar 2007 pukul 2:29 AM, bayiku telah pergi…. Bayiku satu-satunya yang sangat kusayangi…. Josh akan membayar hal ini SEUMUR HIDUPNYA, meskipun dia bisa keluar dari penjara, dia pasti akan mati, dan kepada semua temanku yang mengenal London, Saya sangat marah dan kecewa bisa kehilangan bayi perempuanku yang sangat kusayangi. Dia meninggal pada hari ulangtahunnya yang ke tiga bulan.
London mengalami patah/retak pada enam tulang rusuknya, kedua kakinya patah, dan otaknya begitu rusak sehingga meskipun dia bisa selamat, dia akan sama seperti sayuran (keadaan seperti mati, vegetative state).
Oleh karena itu, saya melakukan apa yang tepat dan apa yang terbaik bagi bayiku, … mencabut alat pendukung kehidupannya.
Apa yang terjadi pada bayiku adalah apa yang disebut Shaken Baby Sydrome [SBS]"

Bagi Anda yang
tidak mengetahui apa itu Shaken Baby Syndrome perhatikan fakta-fakta mengenai hal ini ;

-Mengguncang, menyentak, dan menggoyang bisa menyebabkan pembuluh darah di kepala sobek atau bocor.
Shaken Baby Syndrome adalah mengguncang seorang bayi atau anak kecil pada tangan, kaki atau pundak dengan atau tanpa pengaruh langsung pada kepala.
Trauma ini (SBS) bisa menghasilkan pendarahan dan cedera pada otak tanpa kelihatan tanda-tandanya
Seringkali orang yang kesal ketika menjaga bayi atau anak kecil mengguncang mereka untuk bisa menghentikan tangisan mereka. Mereka merasa hal tersebut tidak berbahaya. Namun, otak dan pembuluh darah seorang bayi amat sangat rapuh terhadap gerakan seperti mengguncang, menyentak, dan menggoyang.
Otot leher dari se
orang bayi atau anak kecil sangatlah lemah, kepala bayi relatif berat dan leher tidak bisa mensupport tekanan atau tegangan akibat goncangan atau goyangan

-Mengguncang seorang anak yang masih sangat kecil, dengan atau tanpa pengaruh langsung pada kepala, bisa menyebabkan kerusakan otak, kebutaan, kelumpuhan syaraf, kehilangan pendengaran, cedera tulang belakang, kejang, hambatan dalam belajar, dan bahkan kematian.
Sangatlah tragis ketika bayi-bayi yang sehat dan normal menderita hal-hal yang telah disebutkan diatas hanya karena hal sederhana, yaitu orang yang menjaga mereka tidak tahu tentang bahaya yang berkaitan dengan Shaken Baby Syndrome
Diperkirakan 1,200 sampai 1,400 kasus Shaken Baby Syndrome (SBS) terjadi setiap tahun di Amerika Serikat.

Hanya 1 dari 4 bayi mati akibat Shaken Baby Syndrome
NAMUN, tiga bayi lainnya memerlukan perhatian medis secara terus menerus selama hidup mereka yang pendek.


London di Rumah Sakit








Diambil dari : Milis Motherandbabyclub


Read more...

Si Kecil Ketahuan Berbohong?

Harus Bagaimana Jika Si Kecil Ketahuan Berbohong?

Suatu sore, Arman pulang dengan membawa bola sepak yang bukan miliknya. Ketika Anda sebagai orangtua menanyakan perihal bola tersebut, Arman menjawab bahwa Rico, temannya, memberikan bola itu padanya. Saat Anda mengonfirmasikan hal itu pada Rico, Anda malah mendapati bahwa Arman merebut paksa bola tersebut.





Berada di posisi seperti ini memang tidak mengenakkan. Di satu sisi, hati kecil Anda ingin sekali percaya si buah hati, tetapi di sisi lain, insting Anda justru mengatakan bahwa si kecil telah berbohong.

Anda tidak sendirian. Faktanya, semua anak pernah membohongi orangtuanya. Bahkan, jujur saja, ketika Anda masih kecil, Anda juga pasti pernah mengucap dusta di hadapan orangtua.

Berbohong adalah tindakan yang manusiawi. Biasanya, hal itu dilakukan untuk menutupi kesalahan, membenarkan sikap yang salah, dan melempar tanggung jawab kepada orang lain.

Memang, tidak semua kebohongan bertujuan jahat. White lie, atau kebohongan yang dilakukan demi menjaga perasaan orang lain, misalnya, berada di zona abu-abu.

Akan tetapi, baik bertujuan mulia maupun tidak, dilakukan dengan sengaja maupun tidak, kebohongan tetaplah kebohongan. Tidak ada alasan untuk menolerir perbuatan itu, apalagi jika si kecil pelakunya.

Masalahnya, jika anak yang berbohong dibiarkan begitu saja, tanpa sanksi, bukan tidak mungkin ia akan kembali membohongi Anda atau orang lain dikemudian hari. Pada akhirnya, bohong bisa "naik kelas" menjadi kebiasaan, bahkan tabiat yang sulit dihilangkan.

Ketahui Alasannya
Untuk menghadapi anak yang mulai "belajar" berbohong, Anda harus tahu dulu alasan yang mendorongnya membohongi Anda.

Ada banyak sekali alasan yang mendasari si kecil berbohong. Yang paling umum adalah karena mereka ingin menghindari konsekuensi dari kesalahannya.

Selain itu, sebagian anak, terutama yang haus akan pujian orang dewasa, berbohong karena khawatir kesalahan yang ia lakukan akan berdampak buruk pada "citra baik" yang sudah susah payah ia bangun. Sebagian lain berbohong untuk mendapat perhatian lebih, atau sebagai upaya untuk membalas dendam, dan mengekspresikan kecemburuan.

Alasan lainnya adalah karena terkadang imajinasi anak kelewat tinggi, hingga ia sendiri sukar membedakan mana yang kenyataan, dan mana yang hanya imajinasi semata. Jika hal ini yang menjadi alasan, ditambah jika Anda melihat kecenderungan kelainan perilaku pada anak, jangan ragu untuk meminta pertolongan psikolog anak.

Jangan Memojokkan
Tetapi, jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan. Jika si kecil baru sekali berbohong, jangan langsung menudingnya sebagai pembohong, dan mengantarkannya ke psikolog.

Yang pertama harus Anda lakukan adalah mengajak si kecil berbicara di ruangan tertutup. Sampaikan padanya fakta-fakta yang telah berhasil Anda kumpulkan, baik fakta aktual - seperti keterangan orang yang melihat peristiwa itu - atau informasi historikal - yang kejadian seperti ini pernah terjadi sebelumnya.

Sampaikan juga, pentingnya kejujuran, dan pengaruhnya terhadap tingkat kepercayaan Anda. Tegaskan bahwa ketidak-jujuran akan membawa dampak langsung pada anak, misalnya waktu bermainnya dipangkas, atau uang jajannya dikurangi. Sebaliknya, jika ia mau mengakui kebohongannya, Anda akan mempertimbangkan ulang sanksi yang akan ia terima.

Sebaiknya, Anda tidak langsung memintanya mengaku pada saat itu juga, karena hal itu akan membuatnya merasa terpojok, dan memicunya kembali berbohong. Berikanlah waktu agar si kecil bisa mempertimbangkan sikap yang akan ia ambil selanjutnya.

Nah, pada waktu yang telah ditentukan, tanyakan kembali apa yang sebenarnya terjadi, apakah ia sudah siap berkata jujur kepada Anda.

Jika pada saat itu ia mengakui kebohongannya, pujilah keberaniannya yang sudah berani mengakui kesalahn. Katakan bahwa tindakan itu telah mengembalikan kepercayaan Anda. Tetapi, Anda tetap harus memberinya sanksi, meski sanksinya lebih ringan, dibandingkan bila ia terus berbohong.

Sebaliknya, jika si kecil tetap bersikukuh pada kebohongannya, ungkapkan kekecewaan Anda, karena "dengan berat hati" harus memberinya sanksi yang lebih berat. Sampaikan juga bagaimana sikapnya tersebut telah memporak-porandakan kepercayaan Anda, dan membuat Anda sulit mempercayainya lagi di kemudian hari.

Jika setelah itu, si kecil kembali berbohong, hadapilah dengan tenang. Dengan langkah korektif dan konsekuensi yang tepat, kebiasaan berbohong si kecil bisa dipangkas.

Ingatlah, bola ada di pihak Anda. Jika Anda menggulirkannya ke jalur yang benar, gol kemenangan akan menambah poin keberhasilan Anda sebagai orangtua.

CEGAH SEBELUM JADI KEBIASAAN
Bagaimanapun juga, mencegah selalu lebih baik. Karena itu, jika Anda tidak mau dihadapkan pada drama kebohongan si kecil, sebaiknya Anda sering menjelajahi imajinasinya.

Anak-anak, terutama yang berusia 3-5 tahun, memiliki imajinasi yang terkadang tidak bisa dipahami oleh orang dewasa. Mereka gemar mendengar, menonton dan membaca cerita fantasi, hingga terkadang terjebak dalam dunia fantasi mereka sendiri.

Akhirnya, mereka tidak lagi bisa membedakan mana yang fakta, dan mana yang hanya berasal dari alam pikiran mereka. Di sinilah peran orangtua sangat dibutuhkan.

Jika anak awalnya menceritakan kisah yang sebenarnya, dan kemudian membawanya ke luar jalur, Anda tidak boleh diam saja. Anda bisa mengatakan,"Wah, andai kejadiannya seperti itu. Tapi coba kamu katakan, sebenarnya apa yang terjadi? Jadi, mama-papa bisa mendengar dua versi - versi nyata dan versi imajinasi." Dengan begitu, Anda tidak membatasi imajinasinya, tetapi membantunya memisahkan fakta dari imajinasi. Lakukan hal itu secara rutin, agar anak terlatih untuk membedakan mana fakta dan mana yang hanya bersumber dari khayalannya.
(mga)

Diambil dari : Health Today Indonesia, edisi April 2010

Read more...

Tips Agar Bayi Suka Makan Sayur

Meskipun bayi Anda tidak suka sayur kacang-kacangan atau bayam, teruslah mencoba. Kebanyakan ibu hanya 3x mencoba, lalu menyerah. Padahal, menurut sebuah penelitian, lebih dari 70% bayi yang awalnya menolak diberi puree (sayuran yang sudah ditim), akhirnya mau menyantapnya setelah percobaan ke-7 atau ke-8. Ketika para peneliti meninjau kembali setelah 9 bulan, 63% diantara mereka ternyata masih mengkonsumsi sayur-sayuran tersebut.

(Sumber : Parents Indonesia, Juli 2008)

Read more...